Syifa.com - Membicarakan masalah iman dan ilmu berarti mengulang kaji yang sudah amat sering dilakukan orang.
Tapi tentu saja, perkara sebesar dan sepenting itu harus selalu sempat kita bicarakan tanpa bosan, mengingat dinamika persoalannya yang tidak akan habis dibahas. Dan kita bisa memulainya dengan dilakukan para muballigh kita : "...Allah mengangkat mereka yang beriman di antara kamu dan mereka yang diberi karunia ilmu pengetahuan ke berbagai tingkat (derajat [dalam bentuk jamak)" (Q.,s. Al-Mujaadalah/58:11).
Firman Ilahi itu menegaskan bahwa janji keunggulan, superioritas, dan supremasi diberikan Allah kepada mereka yang beriman dan berilmu sekaligus. Iman akan mendorong kita untuk berbuat baik guna mendapatkan ridla' Allah, dan ilmu akan melengkapi kita dengan kemampuan menemukan cara yang paling efektif dan tepat dalam pelaksanaan dorongan untuk berbuat baik itu.
Dengan kata lain, iman mendidik kita untuk mempunyai komitmen kepada nilai - nilai luhur, dan ilmu memberi kita kecakapan teknis guna merealisasikannya. Ringkasnya, iman dan ilmu secara bersama akan membuat kita menjadi orang baik dan sekaligus tahu cara yang tepat mewujudakan kebaikan kita itu. Maka dapat dimengerti mengapa iman dan ilmu merupakan jaminan keunggulan dan superioritas.
Memang, secara hirearki nilai, masih tetap bisa dikenali bahwa iman adalah primer, yang utama, dan ilmu adalah sekunder, pelengkap. Ini bisa dilukiskan: "Lebih baik seorang yang jujur meskipun bodoh daripada seorang jahat meskipun berilmu. "Atau, "Lebih baik seorang yang bodoh tapi jujur daripada seorang pandai tapi jahat."
Sebab kepandaian di tangan orang jahat akan menunjang kejahatannya itu sehingga berlipat ganda dan semakin merusak, seperti terbukti dari kejahatan kaum Nazi Jerman. Tetapi jika masalahnya ialah keberhasilan usaha kebaikan yang maksimal, maka sesungguhnya iman dan ilmu tidak dapat dipisahkan. kekalahan orang atau kelompok yang baik oleh orang atau kelompok yang jahat jelas bukan karena faktor iman orang atau kelompok yang baik itu, tetapi faktor ilmunya yang kurang.
Salah satu wujud nyata peran ilmu ialah, misalnya, kemampuan berorganisasi dan menyusun kiprah. Karena itu terkenal sekali diktum, "al-baathil bi-nizhaam yaghlib al-haqq bi-ghayr nizhaam" (kepalsuan yang tersusun rapi akan mengalahkan kebenaran yang tidak tersusun rapi). Sesuatu hal yang amat logis dan masuk akal.
Masalah yang cukup pelik ialah jika seseorang mempunyai iman namun tidak berilmu secukupnya. Maka ada kemungkinan dia akan melaksanakan suatu itikad baik secara kurang tepat, atau, tidak jarang terjadi, melaksanakannya begitu rupa sehingga hasilnya justru hal yang tidak dikehendaki dan berlawanan dengan itikad baiknya sendiri.
Contohnya ialah seperti yang diberikan oleh koran The jakarta post, 7 maret 1990, lengkap dengan gambarnya. Beberapa pejabat tinggi suatu daerah beserta istri mereka jatuh ke sungai di suatu desa saat mencoba dan memeriksa jembatan yang baru saja mereka resmikan. Warga desa itu insya' Allah akan mendapat pahala dari Tuhan karena itikad baik mereka membuat jembatan.
Tapi karena kekurangan ilmunya, mereka telah mencelakakan orang lain, meskipun tanpa sengaja. Maka dengan serius dapat dipersoalkan mengapa itikad baik mereka tidak disertai dengan ilmu yang memadai. Contoh lain serupa itu cukup banya dalam kehidupan kita.