Syifa.com - Sebagai pangkal tolak pembahasan ini, kita kemukakan firman Ilahi dalam kitab suci, sebagai berikut:
Berbagai kitab tafsir mencoba menjelaskan maksud tersirat dari firman itu. A. Yusuf Ali, salah seorang ahli tafsir Al-Qur’an yang terkemuka di zaman modern ini, dengan dukungan berbagai kitab tafsir klasik seperti al-Kasysyaf, al-Baydlawi, dan Ibn Katsir, membatasi penafsirannya dengan memandang bahwa firman itu menunjuk kepada janji Tuhan akan kemenangan agama Islam dalam sejarah, yang dari perspektif kita sekarang sejarah itu telah lewat.
Yaitu sejarah Islam dalam masa kejayaannya, yang dimulai dengan ekspansi militer dan politik masa khalifah yang bijaksana (al-Khulafa’ al-Rasyidun). Bagi Yusuf Ali, firman itu telah terpenuhi perwujudannya dalam peranan yang dimainkan oleh umat Islam, yang pimpinannya telah tampil sebagai pemimpin dunia dan umat manusia. Inilah yang dimaksudkan dengan “tanda-tanda….di seluruh ufuk” itu. Tetapi, kata Yusuf Ali lebih lanjut, tertanamnya kebenaran Islam itu dalam hati sanubari manusia adalah lebih-lebih lagi teramat mengesankan daripada penyebarannya ke daerah-daerah yang luas.
Muhammad Asad, salah seorang ahli tafsir terkenal lainnya di zaman modern ini, memahami firman itu sebagai semacam “eskatologi” (pandangan tentang hari akhir) Islam. Artinya, ia dipahami sebagai lebih berkaitan dengan masa depan umat manusia, sekalipun masa depan itu sendiri, sesungguhnya, masih merupakan kelanjutan langsung masa sekarang dan masa lampau.
Muhammad Asad mengartikan firman itu sebagai pengungkapan kebenaran oleh Tuhan untuk manusia “melalui pendalaman dan perluasan progresif pemahaman mereka tentang keajaiban alam raya dan juga melalui pengertian yang lebih mendalam tentang jiwa manusia sendiri – yang semuanya itu menunjukkan adanya Sang Maha Pencipta (al-Khaliq) yang sadar.”
Jadi yang amat penting dalam hal ini ialah akumulasi pengalaman manusia dalam mencari kebenaran, setapak demi setapak, khususnya melalui kegiatan dan observasi empirik mereka, sehingga kelak, dalam fase pengetahuan manusia itu sedemikian luasnya sehingga “meliputi semua ufuk dan juga menukik ke dalam diri mereka sendiri”, hakikat kebenaran itu terungkap.
Jika tafsir Muhammad Asad – yang juga dianut oleh sementara kalangan penafsir klasik itu benar, maka pertanyaan yang cukup menggoda ialah, apakah tidak mungkin kita di zaman modern sekarang ini, dari satu segi – sekali lagi, dari satu segi – mempunyai kemungkinan yang lebih baik untuk mencoba menangkap dan memahami kembali pesan agama Islam?
Inilah pertanyaan yang mendasari judul pembahsan kita sekarang ini, yaitu kemungkinan menggunakan bahan-bahan temuan modern untuk maksud tersebut. Dan pertanyaan ini menjadi semakin absah jika digandengkan dengan konsep Islam sebagai agama universal, untuk setiap zaman dan tempat.
Sebab salah satu konsekuensi universalisme itu ialah Islam selalu bisa dipahami, dan bisa dilaksanakan, termasuk di zaman modern ini, betapa pun maju dan berkembangnya ilmu-pengetahuan dan teknologi (iptek) yang menjadi ciri utamanya, dan yang sering dikuatirkan sebagai ancaman terhadap kelangsungan agama dan kehidupan keagamaan. Dan “menangkap kembali”pesan itu juga mengandung arti melihat relevansinya dengan kehidupan manusia sejagad sepanjang masa.